Kiat Ampuh Meramu dan Sebarkan Konten Pendidikan di Dunia Literasi Digital
Pasca menerima tugas baru dari dosen pembimbing (dosbing), saya berselancar ria di dunia maya. Sebuah kata kunci saya ketikkan di kolom pencaharian Google, kata kunci itu adalah “bionanokomposit”. Setelah menunggu sekian detik, sebuah halaman hasil pencaharian pun muncul. Ketika itu, sebenarnya saya hanya butuh beberapa jurnal atau dokumen yang bisa saya gunakan untuk mengerjakan tugas tersebut, namun karena iseng saya coba buka hasil pencaharian gambar. Dan, saya menemukan suatu gambar yang kontras di antara gambar lainnya.
Tidak seperti gambar lainnya, gambar yang satu itu berwarna. Setelah saya klik, ternyata itu adalah gambar fitur atau miniatur dari sebuah video yang diunggah ke YouTube. Sebab penasaran, saya coba buka tautan dari gambar itu. Benar saja, sebuah video sangat berbobot saya temukan. Namun sayang, video yang bernas itu hanya ditonton oleh segelintir orang.
Sebenarnya nasib yang sama tidak hanya “dialami” oleh video itu, selain itu masih banyak video-video lain yang sepi penonton.
Kebanyakan dari mereka adalah video-video berbau ilmiah atau pendidikan. Jika tidak percaya, Anda bisa mencoba mengetikkan kata kunci ilmiah di kotak pencaharian YouTube, misalnya “proses tumbuhnya tanaman”. Anda hanya akan menemukan segelintir video yang jumlah tontonnya tidak melebihi 50 ribu. Hei, ini jauh lebih sedikit dari video prank atau sejenisnya yang berjamuran di kanal berbagi video itu.
Sebuah pertanyaan kemudian muncul, “kok bisa begitu?”. Padahal kan konten yang biasanya ada di buku sekarang sudah didigitalkan. Bukankah jumlah pengguna internet Indonesia, pada 2018 saja, ada 171,17 juta orang? Dan, fakta mencengangkannya adalah penetrasi terbesarnya ada pada rentang usia 15-19 tahun dengan 91% dari mereka menjadi pengguna internet—hanya 9% saja yang tidak. Dengan sebanyak itu pengguna internet usia sekolah, kok impak konten literasi digital pendidikan dan ilmiah masih lemah?
Hmm, ini menarik untuk kita bahas. Namun sebelum itu, bagaimana kalau kita ulas sedikit tentang konsep literasi digital itu?
Mengenal Literasi Digital, Pengetahuan Penting Untuk Perluas Jangkauan Ilmu
Akselerasi teknologi membuat semua hal sekarang ini serba digital. Apa-apa digital. Tidak terkecuali literasi, juga ada literasi digital. Sederhananya, literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital dalam mencari, membuat, menggunakan dan menyebarkan informasi. Jika dulunya konten-konten literasi hanya bisa kita temukan di media-media cetak, sekarang konten ini bisa ditemukan di media-media digital.
Terkait tentang literasi digital ini, tiba-tiba saya jadi teringat “petuah” dosen lainnya ketika masih duduk di jenjang Strata-1 dulu. Sang dosen bilang bahwa tidak semua materi di internet (dunia digital) itu bisa digunakan untuk tulisan ilmiah. Pasalnya tulisan ilmiah mesti berangkat dari referensi yang kredibel, kami dilarang mengutip sumber dari Wikipedia dan blog-blog personal. Wikipedia itu tidak kredibel karena siapa saja bisa menulis di situ, sedang blog personal meskipun kontennya bagus tapi seringkali tidak ditulis dengan metode ilmiah.
Lantaran tugas mesti tetap dibuat, pilihan yang tersisa hanyalah mendatangi perpustakaan, merujuk kepada buku teks atau mencari jurnal ilmiah di internet. Yang menariknya adalah banyaknya jurnal ilmiah yang bisa kita akses sekarang ini via Google Scholar, DOAJ, ScienceDirect dan sebagainya—jumlahnya jutaan.
Berkat beberapa situs yang saya sebutkan tadi, jurnal ilmiah bisa dibaca versi elektronik atau digitalnya. Konon, era jurnal elektronik dimulai pada tahun 1990 oleh sebuah jurnal bernama Postmodern Cultutre. Ini sebuah kemajuan besar berkat berkembangnya dunia literasi digital, bukan?
Namun sayangnya, meskipun literasi digital telah berkembang, tidak semua perkembangan ilmu pengetahuan bisa diketahui oleh khalayak umum. Ini seperti kasus yang saya gambarkan di awal tadi, konten pendidikan atau ilmiah tidak digandrungi oleh pengguna internet.
Lantas, apakah ada cara agar konten seperti ini bisa diminati oleh banyak orang? Tentu saja ada, beberapa kiatnya akan kita bahas setelah ini.
Kiat Mempeluas Jangkauan Konten Pendidikan di Dunia Literasi Digital
Berkembangnya literasi digital memberikan kita ruang yang sangat luas untuk membagikan dan menikmati informasi. Tak tanggung-tanggung, informasi itu bisa didapatkan dan dikirimkan ke seantero dunia tanpa ada batasan. Mengetahui apa perkembangan dunia di ujung utara sana, bukan lagi hal yang sulit. Berkat literasi digital, kita juga bisa belajar ini dan itu tanpa meninggalkan rumah. Jutaan orang tidak menyadari…. Eh tunggu, lelucon itu lagi? Sudah basi kali ya. Maaf maaf.
Well, salah satu bukti bahwa literasi digital membuat transfer informasi menjadi mudah, khususnya di bidang pendidikan, adalah eksisnya Universitas Terbuka di Indonesia. For your information, dari data terkini ada sekitar 292.465 orang mahasiwa yang teregistrasi di Universitas Terbuka. Ini menjadi bukti bahwa literasi digital punya dampak yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, bukan?
Namun di samping itu, upaya mencerdaskan bangsa tidak bisa sebatas di sektor formal seperti sekolah dan kampus saja. Harus disokong dengan konten-konten pendidikan atau edukasi yang disebarluaskan di sektor informal, di berbagai media, di setiap kesempatan.
Nah, berikut beberapa tips membuat konten yang menarik dan menyebar luaskannya di dunia literasi digital. Harapannya agar konten atau produk literasi yang kita buat bisa disaksikan oleh lebih banyak orang dan bisa mencerdaskan bangsa.
#1 Sederhanakan bahasa agar lebih mudah dimengerti
Salah satu alasan mayor mengapa konten bertema pendidikan tidak diminati oleh banyak orang adalah bahasanya yang rumit. Konten edukasi cenderung menggunakan bahasa buku yang ilmiah, sementara pengguna di dunia digital itu datang dari berbagai usia dan latar belakang. Menyederhanakan bahasa konten adalah cara pertama dan tidak bisa dilewatkan jika kita ingin konten edukasi kita menjangkau lebih banyak orang.
#2 Kemas konten dengan lebih menarik
Beberapa tahun ke belakang saya memperhatikan satu kanal YouTube bertema edukasi yang populer. Kanal itu bernama “Kok Bisa?”, sebuah kanal yang membahas ilmu pengetahuan dengan kemasan yang sangat menarik. Kanal ini menjelaskan hal-hal yang rumit dengan bahasa lebih sederhana dan visual yang memukau yaitu dengan animasi. Kalau di luar ada kanal “Bright Side” yang menyuguhkan hal yang hampir sama—yang sekarang ada versi Indonesianya yaitu “Sisi Terang”.
Lantas, apakah harus membuat video agar konten literasi edukatif kita diminati banyak orang? Tidak juga, Anda bisa menulis di blog atau media sosial.
“Tapi kan membuat dan mengelola blog itu susah.”
Hmm, memang pada awalnya belajar blog itu susah. Tidak hanya memikirkan konten, tapi juga mendesain blognya. Untuk itu, kalau boleh saran, akan lebih baik jika kita bergabung dengan komunitas tertentu. Misalnya jika Anda berdomisili di Jakarta dan sekitarnya, Anda bisa ikut gabung dengan Klub Blogger dan Buku dari Komunitas Backpacker Jakarta atau Kubbu BPJ.
#3 Ajak kreator konten lainnya untuk bekerja sama dan berkolaborasi
Salah satu tren yang sering digunakan para content creator adalah melakukan kolaborasi dan bekerja sama dalam membuat konten. Hal ini juga bisa kita coba dan akan sangat membantu sekali lho. Minimal ketika berkolaborasi kita bisa berbagi ilmu dengan kreator konten lainnya. Konten kita pun jadi lebih kaya. Selain itu, jangkauan konten akan semakin luas. Apalagi jika kita berkolaborasi dengan seseorang yang memang sudah populer.
Terus, bagaimana caranya agar bisa berkolaborasi, atau minimal bekerja sama? Nah, Anda bisa mengikuti berbagai proyek bersama atau mengikuti lomba dengan tema tertentu. Salah satunya event KARNAVAL (Karya Tahunan dan Festival Literasi) yang sedang diselenggarakan oleh Kubbu BPJ.
Selain itu, masih banyak proyek, event dan lomba lainnya yang bisa Anda ikuti. Pilihlah tema yang Anda sukai dan bermanfaat bagi orang banyak, agar kalaupun tidak berhasil menjadi pemenang, paling tidak Anda sudah meramaikan jagat dunia digital dengan literasi yang bermanfaat.
#4 Sosialisasikan konten di berbagai kesempatan
Satu faktor lain yang membuat banyak konten bagus sepi pembaca/penonton adalah kurangnya sosialisasi dari kreator konten itu sendiri. Bisa jadi karena malu atau sebagainya. Padahal seorang kreator konten mesti punya ilmu lainnya yaitu content marketing atau pemasaran konten. Banyak cara untuk memasarkan atau mensosialisasikan konten kita, namun sebagai awalan mungkin bisa mengoptimalkan penggunaan media sosial.
#5 Buat dan kembangkan sebuah media digital sendiri
Di rentang tahun 2011-2013 lalu saya cukup aktif menulis di koran, tapi seiring berjalannya waktu, hari ini saya hanya menulis di blog. Kok gitu? Karena ketika kita punya media sendiri, kita bisa membuat dan menyebarkan konten literasi kapan pun kita mau—tidak seperti menulis di koran yang harus diseleksi redaktur dulu. Selain itu, orang-orang saat ini lebih banyak membaca media digital dari pada media cetak. Oleh karena itu, membangun sendiri media digital adalah cara terbaik untuk menjangkau lebih banyak pemirsa. Terutama bagi Anda yang punya perhatian untuk menyelami dunia literasi digital dengan konten bertema pendidikan atau apapun.
Nah itu lah beberapa kiat meramu dan menyebarkan konten bertema pendidikan di dunia literasi digital saat ini. Kiat-kiat di atas tidak terbatas pada konten pendidikan lho. Anda juga bisa menggunakannya untuk membuat konten hiburan dan sebagainya.
Kesudahannya, dunia digital memberikan kita ruang yang luas untuk membuat, mencari, menggunakan dan membagikan informasi apa saja kepada siapa saja. Namun, sebagaimana perkembangan teknologi lainnya, selalu ada 2 mata pisau yang bisa menguntungkan dan merugikan tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Perkembangan literasi digital saat ini sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan berbagai informasi yang mereka butuhkan. Namun di samping itu, sebagai konten kreator, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk menulis dan membuat konten yang baik-baik saja. Sebab, dari pada membuat konten yang memancing keributan, akan lebih baik membuat konten yang menyejukkan, bukan? Semoga kita bisa menciptakan tren yang baik di tengah berkembangnya literasi digital.[]
Emang sedih banget ketika konten yang berbau ilmiah dan pendidikan hanya dibutuhkan disaat tertentu saja sih kak.
Dan betul banget emang kalau konten yang mendidik kalah dengan konten hiburan semata sih.
Lalu saya berdecak heran, wow, 50 ribu view termasuk sedikit?
Mungkin masyarakat lagi butuh hiburan Kak, jadi lebih suka nonton prank. Setelah itu batu nyati yang ilmiah. Hehe.
Kadang yg berbobot tdk laku di negeri ini. Yang recehan dan kdg ga mendidik trs digemari. Endonesaaaaah
ini yang saya heran, kenapa ya konten video prank atau melakukan hal bodoh dan memalukan diri sendiri lebih laku ketimbang konten ilmiah? *lalu teringat akupun suka nonton video receh
bhaik ini menampar aku juga sih, aku akan coba membagikan konten bermanfaat di medsos deh sekarang. mudah-mudahan istiqomah 😀
Saya setuju banget dengan kalimat “menarik”. Itu juga yang bikin saya betah membaca lalu menjelajah blog ini. Kenapa? Menarik! Cantik kalau bahasa saya. Lalu setelah membaca ini saya pun tergerak untuk tidak sekadar menulis, tetapi menulis tema yang menarik dengan gaya apik, supaya tidak jadi hal basi di internet karena sepi pembaca. Thanks… Saya masih kepo tampilan ciamik blog nya…
Ke depan media digital akan semakin dilirik karena dunia cetak tidak ramah lingkungan … siap tidak siap kita semua dituntut harus siap…
Ehh..ini kan yang limba dari kubbu ya… kapan deadlune terakhirnya… (semoga beruntung ya kk)
Iya. Tanggal 7 kemarin Kak. Ikut meramaikan saya nya. Terima kasih, mudah-mudahan rezeki 😀
Saya kalau nonton YouTube cuma untuk cara masak atau kulineran, parah banget karena tidak tahu ada video bagus ilmiah padahal saya penyuka keilmuan. Sepertinya pegiat literasi digital yang menciptakan konten bagus harus bekerka keras memasarkan karyanya sebagai bentuk pertanggungjawaban agar tidak berhenyi pada satu titik.
Wikipedia dan blog iya sih engga bisa sebagai acuan ilmiah. Tapi awal² nyari terminologi, ke wiki dulu sih. Hehe…Udh itu baru jurnal.
Semoga semakin banyak yg faham literasi digital ya…
Btw…page buildernya pakai apa ya blognya? Keren…
Sama mbak, kalau sudah paham terminologinya baru cari referensi yang bakal dirujuk.
Page buildernya Divi, terima kasih apreasiasinya
Memang sudah waktunya literasi digital berbenah supaya dilirik sebagai media pendidikan. Bagaimana pun mendengar kata literasi masih menempel dengan sastra yang baku, kaku, bahkan kolot. Sekarang sudah seharusnya dikemas lebih milenial dan kekinian supaya semua sasaran mendapatkan perhatian.
Jangan kaget kak jika kita menemukan konten digital yang memiliki pembahasan menarik justru yang nonton cuma segelintir orang saja.
Berbaik dengan konten receh dan banyak kontroversi, itulah minat pasar orang di Indonesia.
konten skrg apalagi di medsos dan yutub tapi agak ngeri dan miris eh mas,, masalah prank2 itu aku sbbel bgt, dimana mendidiknya sih, ya ampun pdhal byk loh kreativitas lain yg bisa dibikin
Benar banget, sekarang konten-konten yang maaf dalam kutip tidak berbobot banyak peminatnya sebaliknya yang sangat bermanfaat malah sepi pengunjungnya. Suka miris kalau lihat ini. Terkadang, karena idealisme, banyak yang tetap bertahan. Tapi wajib juga sih buat cara agar konten menarik biar dapat manfaatnya. Sayangkan
Penting banget sih literasi digital ini banyak yang salah kaprah n jadi kebablasan. Banyak banget sekarang orang malah bikin konten gak mutu.
Kl mahasiswa sy blgin dosen pembimbingnya “doping” wkwk
Nice ini kiat²nya,, aplicable banget, Ajo Fadli.. Tfs yo
Dunia digital itu seperti pisau bermata dua. Semua bergantung seberapa bagus edukasi yang diterima. Kadang ada yg sudah kadung candu duluan dengan konten-konten nonpendidikan. Justru konten-konten berbau pendidikan tenggelam di antara konten-konten yang unfaedah. Hehehe. Saya mendukung kreator konten pendidikan untuk terus berinovasi meningkatkan kualitas kontennya supaya anak-anak, remaja, dewasa muda, bahkan orang tua tertarik.
Dalam literasi digital, petuah kuno tetap berlaku: Kita baru bisa dibilang menguasai pengetahuan, saat bisa menjelaskan dengan sederhana kepada masyarakat awam.
Sering kali yang saya temui di YouTube misalnya, ada banyak konten yang sebenarnya bagus, tetapi orang malas melihat karena … ya isinya istilah yang dipake tu bahasa teknis planet namek 😀
Mungkin maksudnya ya pengen teknis, tetapi mustinya ditambahi pengertian sederhana dengan analogi2 lokal.
Last, selalu suka dengan tampilan sajian blog ini mas!
Jujur saja aku sendiri jarang sih buka, baca atau nonton konten berbau ilmiah karena itu tadi bahasanya terlalu baku. Jadinya mudah bosan dan kadang pusing juga. Setuju sih sebaiknya konten ilmiah itu bahasanya disederhanakan dan juga dibuat lebih menarik agar bisa dinikmati oleh semua usia, terutama remaja
media sosial yang digunakan remaja dengan rentang usia 15-19 tahun kebanyakan diisi status sambat dan misuh heheheh
Masih banyak masyarakat yang gagap mengambil sebaran informasi di internet. Tak jarang mereka juga ga bisa membedakan mana hoax mana berita asli
Bagus banget tampilannya, Kak
Terima kasih atas kiat-kiatnya ya, aku jadi semangat buat bikin kontenyang lebih baik
Nah memang sekarang udah zamannya literasi digital tapi untuk itu harus dilihat mana informasi yang baik dan tidak jangan asal nenerima informasi lalu mengirimkan kembali ternyata itu informasi hoax
Setuju banget. Bahasannya harus disederhanakan tanpa mengubah maknanya. Agar lebih banyak yang suka membaca literasi digital. Thanks for share.
Ehem, konten hiburan kayaknya emang lebih menarik daripada yg berbau ilmiah. Cuma ya eman2 kuota klo dihabiskan buat konten2 unfaedah doang. Sesekali bolehlah tapi gak banyak2 porsinya. Jangan sampai pegang smartphone tapi kitanya nggak smart. Haha..
wah aku sebenarnya galfok ama blog kakak.. kece abisss.. jadi pengin juga bikin kaya gini.. hihihi etapi iya tontonan zaman sekarang yang laku itu prank2an. padahal yang nonton ama yang bikin akan dimintai pertanggungjawaban.. #ModeSerius hihihi